Banyak orangtua ingin anaknya berprestasi, kemudian berlomba-lomba mengikutkan anaknya ikut lomba. Tanpa sadar bahwa semakin banyak lomba semakin besar dampak negatifnya.
Berprestasi mungkin jadi impian banyak orangtua terhadap anaknya. Siapa sih orangtua yang tidak ingin anaknya berprestasi? Besarnya hasrat membuat banyak orangtua dan sekolah memilih ukuran berprestasi yang mudah diukur. Jadi juara dan dapat piala yang untuk mendapatkannya anak harus mengikuti suatu lomba. Lemari penuh piala adalah tanda kebanggaan.
Tapi tahukah anda bahwa ikut lomba, jadi juara dan dapat piala BUKAN ukuran berprestasi? Tahukah anda bahwa ikut lomba justru berdampak negatif pada anak usia dini?
Saya akan mengajak anda pada suatu siang ketika saya berjumpa seorang teman yang menceritakan pengalamannya. Ia dulu rajin mendaftarkan dan mengantarkan anaknya untuk ikut lomba menggambar. Sebagaimana kebanyakan orangtua, ia meyakini bahwa lomba membuat anak semangat berlatih. Semakin berlatih, semakin mahir anak, semakin berprestasi.
Sampai suatu hari ia mendapati anaknya sedang membongkar tumpukan majalah di gudang di rumahnya. Sang anak memeriksa satu per satu majalah anak seakan mengincar satu edisi yang berharga. Ia penasaran dan bertanya pada sang anak. Alangkah terkejutnya ia mendapat jawaban dari anaknya bahwa ia mencari edisi majalah anak yang mengumumkan pemenang lomba menggambar pada tahun lalu.
Buat apa anak itu mencari majalah yang terbit tahun lalu? Ya, anak itu ingin melihat gambar macam apa yang dimenangkan oleh tim juri. Ia ingin mempelajari gambar tersebut dan berusaha menggambar seperti gambar pemenang tahun lalu itu.
Teman saya terhenyak mendengar jawaban sang anak. Tidak terbayang sedikitpun di benaknya bahwa upayanya mengikutkan anak ke lomba menggambar justru membuat anak tidak percaya diri dengan kemampuannya. Bukannya menunjukkan keunikan dirinya, tapi justru menjiplak gambar anak lain. Suatu dampak yang tidak pernah disangkanya. Sejak itu, ia tidak pernah lagi mengikutkan anak ke lomba menggambar maupun lomba yang lain.
Cerita itu kisah nyata. Kisah itu mungkin bukan satu-satunya, ada banyak kisah serupa di masyarakat kita yang kecanduan lomba. Apakah dampak negatif lomba hanya kebetulan atau memang menjadi dampak yang menetap?
Keyakinan terhadap kompetisi dalam dunia pendidikan di tingkat global terbagi dua. Negara yang percaya pada kompetisi vs negara yang percaya kolaborasi.
Negara yang meyakini kompetisi terlihat dari banyaknya kegiatan lomba dan berbagai ajang kompetisi yang bisa diikuti oleh anak-anaknya. Jumlah medali dari berbagai ajang kompetisi menjadi ukuran prestasi suatu negara. Tak heran bila mereka mengirim sebanyak mungkin anak untuk mengikuti berbagai ajang kompetisi. Semakin banyak anak yang ikut semakin besar peluang suatu negara mendapat medali.
Sebaliknya dengan negara yang percaya kolaborasi. Mereka justru mengabaikan perlombaan dan berbagai ajang kompetisi. Mereka lebih banyak menstimulasi anak-anaknya dengan aktivitas yang menuntut kemampuan berkolaborasi. Bila ada persaingan jumlah medali berbagai ajang kompetisi, mereka pasti kalah telak.
Tahukah anda Finlandia yang sistem pendidikannya diakui sebagai salah satu terbaik di dunia termasuk kelompok negara mana? Finlandia adalah Negara yang meyakini kolaborasi.
Bila ada lomba jumlah medali berbagai ajang kompetisi antara Indonesia dan Finlandia, maka negara kita pemenangnya. Tapi mengapa sistem pendidikan Indonesia terpuruk dan sistem pendidikan Finlandia diakui secara global?
Ya karena logika kompetisi dalam pendidikan adalah logika yang menyesatkan. Anak berprestasi tidak diukur dari jumlah juara dan piala. Sistem pendidikan berprestasi tidak diukur dari jumlah anak yang mendapat medali berbagai ajang kompetisi.
Mengapa logika kompetisi dalam pendidikan itu menyesatkan? Mari kita simak pendapat ahli pendidikan global, Alfie Kohn di tulisannya berjudul The Case Against Competition. Setelah melakukan kajian terhadap riset di bidang psikologi, sosiologi, pendidikan, biologi dan bidang lainnya, beliau menyimpulkan bahwa kompetisi pada dasarnya buruk. Kompetisi yang sehat dalam pendidikan adalah istilah yang rancu dan kontrakdiktif.
Kompetisi pada harga diri anak ibarat gula pada gigi. Seperti semakin banyak gula maka semakin rusak gigi, begitu pula dengan kompetisi, semakin banyak diikuti semakin merusak harga diri anak. Kompetisi membuat anak melakukan evaluasi terhadap kemampuan dirinya berdasarkan sumber eksternal, anak lain atau peserta kompetisi yang lain. Semakin banyak lawan yang dikalahkan, semakin besar harga diri anak. Menjadi baik tidak cukup, bila tidak mengalahkan semua lawan.
Anak-anak sukses ketika mengatasi kompetisi, bukan karena kompetisi. Banyak orang meyakini bahwa kita melakukan yang terbaik ketika berada dalam sebuah kompetisi. Tanpa kompetisi, kita menjadi orang yang malas, sedang-sedang saja, atau asal berusaha. Itu adalah pandangan palsu karena kita terjebak melakukan penilaian diri hanya dari sumber eksternal.
David Johnson, seorang profesor psikologi sosial di Universitas Minnesota mengkaji semua riset dengan topik kompetisi yang dilakukan sejak 1924 hingga 1980. Enam puluh lima studi membuktikan bahwa anak-anak belajar lebih baik ketika berada dalam lingkungan yang kooperatif dibandingkan yang kompetitif, delapan studi membuktikan sebaliknya dan 36 studi menemukan tidak ada perbedaan antara keduanya. Masih percaya kompetisi membuat anak semangat belajar?
Kompetisi adalah sumber permusuhan. Tidak semua anak akan menang dalam sebuah kompetisi. Bila ada anak yang menang, maka anak yang lain pasti kalah. Seorang peserta kompetisi dibiasakan memandang peserta lain sebagai penghalang dari kemenangannya.
Mereka yang berada dalam lingkungan kompetisi akan sulit memahami sudut pandang orang lain. Riset membuktikan bahwa anak yang kompetitif cenderung kurang berempati pada anak yang lain. Semua urusan dilihat dari sudut pandang kepentingannya. Bila ada yang menghalanginya, maka anak tersebut harus dimusuhi.
Bersenang-senang tidak berarti mengubah lapangan bermain menjadi arena kompetisi. Kita seringkali menganggap kompetisi adalah satu-satunya sumber kesenangan buat anak. Hampir semua kegiatan anak-anak bersifat kompetisi bahkan kegiatan yang sifatnya untuk bersenang-senang sekalipun. Semuanya dilombakan.
Saya sendiri menyaksikan perubahan dari kompetisi menjadi kolaborasi justru membuat anak saya mendapatkan kesenangan yang lebih besar. Di tempat les piano yang lama, Damai pasti diikutkan lomba piano minimal pada akhir semester. Di tempat les piano yang baru, Damai mendapat proyek untuk terlibat dalam pentas piano.
Dalam pementasan piano, Damai bergabung dalam kelompok yang anggotanya ada anak berkebutuhan khusus. Ketika kompetisi, anak berkebutuhan khusus seringkali dipandang merepotkan dan mengganggu usaha kelompok. Tapi dalam pentas piano, siapapun bekerja sama, saling membantu, agar bisa menampilkan permainan terbaik. Baca lengkapnya di beberapa tulisan berikut ini, Persiapan Movie Land, Konser Piano Movie Land, We’re Proud to Be Part of This Music School, dan Belajar Inklusif.
Ingin contoh yang lebih nyata bahwa berprestasi bukanlah buah dari kompetisi? Simak kesaksian Joey Alexander yang dikutip dari tulisan ini.
“But i just want to play and winning isn’t my goal. I came to the Grammys to play. Didn’t expect to win. It’s all about the music. The opportunity to play for both shows was a huge blessing”, Joey Alexander
Ingin contoh lain lagi? Silahkan sebutkan siapa tokoh yang Anda nilai berhasil, dan periksa kompetisi yang dimenangkannya. Steve Jobs, Bill Gates, Larry Page dan Sergey Brin, Mark Zuckerberg, atau siapapun, sebutkan siapa saja. Berapa banyak dari mereka yang sukses karena memenangkan perlombaan?
Pasti banyak yang tanya, bila tidak ikut lomba, bagaimana anak bisa berprestasi? Ukuran berprestasi bukanlah jumlah juara, piala atau medali. Menjadi juara, dapat piala atau medali tidak memberikan banyak informasi mengenai tindakan yang perlu dilakukan untuk memperbaiki dan mengembangkan diri.
Dalam buku Bakat Bukan Takdir, saya menyebutkan ukuran berprestasi adalah karya yang dihasilkan anak dan manfaat dari karya tersebut bagi orang lain. Karya yang ditampilkan ke publik sehingga dikenal dan mendapatkan umpan balik yang berguna bagi anak untuk melakukan perbaikan dan pengembangan diri.
Sayangnya, karya anak jarang mendapat kesempatan untuk tampil karena kebanyakan kegiatan anak sifatnya lomba. Kadar kompetisi pada kegiatan anak sudah jauh melampui ambang batas. Bahkan kegiatan serupa pada orang dewasa tidak menjadi lomba tapi berubah menjadi lomba ketika dilakukan oleh anak-anak. Misal, ada lomba menggambar untuk anak tapi tidak ada lomba menggambar untuk orang dewasa.
Lebih ironis lagi, sekolah terbaik justru mendorong murid memenangkan lomba semata-mata untuk meraih atau mempertahankan predikat terbaik. Murid yang terlihat menonjol diikutkan lomba, sementara murid kebanyakan diabaikan. Murid yang menang lomba, diikutkan lomba-lomba yang lain, bahkan lomba yang tidak terkait dengan minat dan bakat murid yang bersangkutan. Itulah mengapa seringkali Sekolah Terbaik Justru TIdak Baik untuk Anak.
Pada sisi pengambil kebijakan pendidikan pun, hampir semua program dan kegiatan sifatnya lomba. Seolah-olah tidak ada cara lain untuk mengembangkan pendidikan selain melalui kompetisi. Pendidikan kita kelebihan dosis kompetisi.